Desakan legislator kepada Menteri ESDM untuk menertibkan tambang ilegal di Papua bukan sekadar manuver politik, melainkan respons atas realitas lapangan dan kegelisahan publik.
Dorongan ini muncul karena masih maraknya aktivitas pertambangan ilegal di berbagai wilayah Papua, yang dianggap merugikan negara dan masyarakat. Presiden Prabowo sendiri telah menegaskan komitmennya untuk tidak melindungi siapa pun yang terlibat dalam kegiatan tambang ilegal, termasuk anggota koalisi dan partainya.
Dibawah ini anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran Info Kejadian Papua.
Lonjakan Perhatian Publik
Dalam beberapa bulan terakhir, isu tambang ilegal di Papua dan Papua Barat kembali mencuat. Kasus-kasus di lapangan memperlihatkan bahwa aktivitas PETI bukan fenomena sporadis, melainkan beroperasi secara terorganisir.
Kepolisian Daerah Papua Barat, misalnya, melaporkan penangkapan 31 penambang emas ilegal di Manokwari dan Pegunungan Arfak sepanjang Januari–Juli 2025. Selain menyita alat berat dan mesin, polisi juga mengamankan barang bukti emas hasil olahan.
Temuan ini menggambarkan skala kegiatan PETI yang bukan sekadar menggunakan dulang tradisional. Melainkan memobilisasi modal dan peralatan yang tidak kecil.
Di sisi lain, sorotan publik terhadap penambangan nikel pada gugusan pulau-pulau kecil di Raja Ampat menekan pemerintah untuk mempertegas sikap. Pada 10 Juni 2025, pemerintah melalui Menteri ESDM mengumumkan pencabutan izin empat perusahaan nikel di Raja Ampat dengan alasan ketidakpatuhan administratif dan kekhawatiran dampak lingkungan pada kawasan yang sangat sensitif dari sisi ekologis.
Namun satu pemegang izin, PT Gag Nikel, tidak dicabut karena beroperasi di luar kawasan geopark, meski pengawasan dijanjikan akan diperketat. Keputusan ini dipandang sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah bersedia mengambil langkah korektif. Sekaligus menegaskan tingginya intensitas perhatian nasional terhadap praktik pertambangan di Papua.
Titik Tekan legislator
Desakan legislator pada intinya menuntut tiga hal. Pertama, kepastian penertiban di hulu yakni pada level perizinan, tata ruang, dan pengawasan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Legislator menilai masih ada celah pengawasan yang memfasilitasi operasi PETI. Termasuk dugaan pembiaran terhadap aktivitas yang nyata-nyata melanggar hukum. Kedua, koordinasi lintas kementerian/lembaga agar penegakan hukum tak berhenti pada pelaku lapangan. Tetapi juga menyasar rantai logistik, pembiayaan, dan tata niaga mineral/emas hasil PETI.
Ketiga, transparansi informasi publik terkait status izin, kewajiban lingkungan, dan sanksi administratif maupun pidana. Sehingga masyarakat adat dan pemerintah daerah memiliki pegangan saat terjadi konflik di lapangan.
Seruan ini diartikulasikan jelas oleh Yan Mandenas ketika ia meminta Menteri ESDM menindaklanjuti instruksi Presiden secara konkret dan terukur, mengingat skala dampak sosial-lingkungan di Papua.
Desakan politik tersebut juga berada dalam konteks arahan terbaru pemerintah pusat untuk “menyikat” tambang ilegal sebagai agenda mendesak demi mencegah kerusakan multidimensi serta kebocoran penerimaan negara. Kementerian ESDM menyatakan akan menindaklanjuti instruksi Presiden tersebut, menandakan adanya landasan kebijakan untuk bergerak lebih agresif.
Baca Juga: Pj Gubernur Fatoni Resmi Lantik 92 Pejabat Baru Papua
Dimensi Hukum dan kebijakan
Ruang gerak Kementerian ESDM dalam menata pertambangan baik legal maupun ilegal bertumpu pada beberapa instrumen kunci. Di tingkat undang-undang, perubahan keempat atas UU No.
4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan pada 19 Maret 2025 (UU No. 2/2025). Rezim baru ini mempertegas pengaturan perizinan, sanksi administratif, dan koordinasi pengawasan, seraya menautkan ketentuan turunan dalam peraturan pemerintah terkait penerimaan negara dan pengelolaan devisa hasil ekspor sumber daya alam.
Bagi konteks Papua, penguatan regulasi ini memberi pijakan bagi ESDM untuk mengharmonikan langkah penertiban dengan kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah daerah, termasuk penggunaan sanksi administratif progresif (pembekuan, pencabutan izin) hingga pelibatan aparat penegak hukum untuk tindak pidana pertambangan.
Kebijakan pengetatan izin juga tampak dari langkah pemerintah mencabut dan/atau tidak menerbitkan kuota produksi bagi perusahaan yang tak memenuhi persyaratan. Preseden Raja Ampat memperlihatkan bahwa pemerintah siap menggunakan kewenangan perizinan untuk melindungi kawasan berdaya dukung ekologis rapuh.
Di sisi lain, pemerintah berjanji meningkatkan pengawasan atas izin yang tetap berjalan agar memenuhi standar lingkungan, reklamasi, dan pascatambang.
Agenda Aksi yang Dituntut DPR
Sejumlah langkah strategis yang diharapkan DPR terhadap Kementerian ESDM untuk konteks Papua dapat diringkas sebagai berikut:
- Audit izin dan tata ruang WIUP/WIUPK: Audit menyeluruh terhadap kesesuaian izin dengan tata ruang, kawasan lindung, dan batasan pulau-pulau kecil, disertai publikasi hasilnya agar ada akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Preseden di Raja Ampat menunjukkan audit substantif dapat berujung pada pencabutan izin yang bermasalah.
- Penegakan hukum terpadu dan berjenjang: Skema joint operation antara ESDM, kepolisian, kejaksaan, KLHK, dan pemda untuk menutup titik-titik PETI prioritas, menjerat aktor pembiayaan dan penadah, serta memutus rantai pasok BBM dan bahan kimia berbahaya. Catatan penindakan 31 pelaku di Papua Barat membuktikan efektivitas operasi gabungan, tetapi perlu dilanjutkan ke level jaringan.
- Kebijakan fiskal dan perizinan yang konsisten: Implementasi sanksi administratif progresif sesuai UU Minerba hasil perubahan 2025, diiringi pembenahan mekanisme kuota produksi dan due diligence kepatuhan lingkungan bagi pemegang IUP.
- Transparansi dan pelibatan masyarakat adat: Kementerian ESDM perlu memastikan keterbukaan data izin, peta konsesi, dan status kewajiban reklamasi. Pelibatan masyarakat adat dalam pengawasan partisipatif akan mengurangi potensi konflik dan mempercepat deteksi dini aktivitas ilegal.
- Rehabilitasi pascapenertiban: Penutupan PETI harus disusul rencana pemulihan lahan dan DAS, termasuk river clean-up, revegetasi, serta alternative livelihood bagi penambang lokal melalui program padat karya hijau.
Mengapa Langkah Cepat Diperlukan Sekarang?
Pertama, momentum politik sedang berpihak pada penertiban. Presiden telah mengeluarkan instruksi tegas Kementerian ESDM menyatakan akan menindaklanjuti dan legislator Papua memberikan dorongan kuat agar kebijakan diterjemahkan menjadi operasi nyata. Ini jendela kesempatan yang jarang ketika perhatian publik, mandat politik, dan perangkat hukum bertemu dalam satu garis kebijakan.
Kedua, risiko kerusakan yang bersifat kumulatif. Ekosistem Papua memiliki daya pulih, tetapi tidak tak terbatas. Penundaan penertiban memperbesar biaya pemulihan, memperpanjang penderitaan masyarakat yang menggantungkan hidup pada alam, dan meningkatkan kemungkinan bencana ekologis.
Ketiga, kepastian usaha bagi penambang legal. Penertiban PETI melindungi pelaku usaha yang patuh dan berinvestasi pada praktik pertambangan baik (good mining practice). Pasar global juga kian menuntut traceability dan kepatuhan ESG; toleransi terhadap pasokan yang tercemar praktik ilegal akan merusak reputasi Indonesia sebagai pemasok mineral strategis.
Untuk informasi terkini dan lengkap mengenai berbagai kejadian penting di Papua. Termasuk insiden keamanan dan bencana alam. Kalian bisa kunjungi Info Kejadian Papua sekarang juga.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Utama dari redaksipil.id
- Gambar Kedua dari regional.kompas.com